Cerita Pendek - Kakek Pemulung

Ilustrasi tumpukan sampah via Ulyadays.com | sejativi.com

Ditulis oleh: Rahmayu Attri Murni

Mereka tertawa terbahak-bahak tatkala menunggu penjual es krim itu menyiapkan pesanan mereka. Melihat es krim yang hendak disuguhkan itu, rasanya kok begitu lezat sekali ya! Ingin rasanya aku ikut nimbrung di sana, namun sayang aku tak punya cukup uang untuk membeli es krim itu. Ibuku, tak pernah memberi aku uang jajan. Bukan karena ibu tak mampu. Namun, karena ibu begitu hati-hati dengan semua makanan yang disuguhkan kepadaku. Baginya, semua makanan di luar sana tidak ada yang sehat. Ah! Ibu memang tidak pernah tahu bagaimana hasratku ingin mencicipi makanan itu.

Lantas bagaimana aku bisa memenuhi hasratku itu? Mencuri uang ibu secara diam – diam? Ah itu tidak mungkin! Aku sangat takut, sebab Tuhan pasti tahu apa yang ku lakukan. Meminta uang terang-terangan kepada ibu? Mustahil! aku pernah meminta uang kepada ibuku untuk jajan, tetapi dengan berbagai alasan yang menurutku tidak masuk akal, akhirnya semua kehendakku ditolak. Mau minta sama ayah? Ah rasanya percuma! Semua keputusan bahkan keuangan ada di tangan ibuku. Ibuku memang pengatur segalanya, termasuk urusan uang. Bisa dibilang, ibuku benar-benar seorang menteri keuangan dirumah.

Setiap hari aku selalu memandang ke arah teman – teman ku yang sedang menikmati es krim itu. Namun apa daya, aku benar – benar tidak memiliki uang untuk membelinya. Di tengah lamunan itu, tiba – tiba seorang kakek tua berdiri tepat di depanku. Ia tertegun melihatku yang sedang membayangkan nikmatnya es krim itu. Aku pun tersadar dari lamunan, lantas tersenyum ke arah kakek tua itu.

Aku cukup mengenal kakek tua itu. Ku perhatikan, Ia selalu lewat di depan sekolahku tepat pada pukul 10.30 WIB. Aku tahu kakek tua itu orang yang baik. Buktinya, Ia hanya mengais sampah yang bisa diambil dan dijual. Itu saja. Namun, rupanya aku perlu mengoreksi penilaianku saat itu. Sebab, menurutku, kakek tua ini terlalu baik. 

Bayangkan saja, melihat aku yang tertegun membayangkan nikmatnya es krim, kakek tua itu merogoh uang di saku celananya dan memberikannya kepadaku. Ku tatap uang di tangannya: Dua puluh ribu rupiah. “Belilah es krim” Ujarnya. Kuraih uang di tangannya. Ia lantas pergi begitu saja. Aku hanya tersenyum dan tertegun. Bayangkan saja, aku diberi uang oleh seorang kakek tua pemulung untuk membeli es krim. Tanpa berlama-lama, aku segera menuju penjual es krim dan membeli es krim yang sangat diinginkan itu.

Jam istirahat pun telah usai. Kami memasuki kelas kembali. Namun, di dalam kelas, Aku masih terpikir kebaikan kakek tua tadi. Bagaimana bisa ada manusia sebaik itu? Kekaguman atas kebaikannya lantas ku wujudkan dalam doa. Di dalam hati, aku mendoakan semoga kakek tua pemulung itu diberikan kekuatan, kesehatan dan rezeki yang melimpah. 

Rezeki yang melimpah. Salah satu isi doaku untuk kakek tua itu. Namun, rupanya doa itu terlambat kupanjatkan. Bagaimana tidak? sebelum kakek tua bertemu aku tadi, Ia telah berjalan cukup jauh mengais sampah-sampah yang Ia temukan di jalan untuk dijual. Sampah-sampah yang sedikit itu, lantas dibawa ke pengepul. “Ini dua puluh ribu rupiah” ujar pengepul. Diraihnya uang itu, lalu dimasukkannya ke saku celananya. Ia segera bergegas dari tempat itu. Lantas saat Ia bertemu aku di depan sekolah saat aku membayangkan nikmatnya es krim, Ia tak segan-segan memberikanku uang seluruh hasil mengais sampah hari itu. Padahal, Ia harus ke apotik menebus obat untuk cucunya yang sedang sakit. Aku tak tahu bagaimana jalan pikiran kakek tua itu! Yang jelas, Ia tetap pergi ke apotik, menebus obat dengan uang seadanya.

***

Jam pelajaran pun telah usai. Saat pulang sekolah, aku dijemput oleh supirnya ayah, karena ayah dan ibu tak meperbolehkan aku pulang naik kendaraan umum. Bahkan, untuk membawa kendaraan sendiri pun tidak dibolehin. Alasannya cukup sederhana: Umurku belum cukup. Ya begitulah ibuku. Dalam urusan apapun, ibu memang begitu hati – hati sekali padaku. Bukan tanpa alasan. Semua berawal saat Aku kelas enam SD. Saat itu, Aku memiliki adik berumur 4 tahun. Saat itu, ibu masih bekerja sebagai eksekutir manager di sebuah kantor ternama di kotaku. Sementara ayahku juga tak kalah sibuknya. Lantaran kesibukan ayah dan ibu, maka aku dan adikku diasuh oleh seorang pengasuh saat itu.

***

Aku masih sangat ingat kejadian itu. Saat itu, Ayah dan Ibu sama-sama pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan masing-masing. sedangkan aku dan adikku hanya tinggal dengan pengasuh. Kala itu aku masih di sekolah, sedangkan adikku yang baru berumur 4 tahun dibawa oleh pengasuh ke sebuah minimarket untuk membeli sesuatu. 

Saat tengah asyik berbelanja, tiba-tiba toko itu terbakar. Pengasuh kami meninggal dunia dalam kejadian itu, badannya habis terbakar namun masih bisa dikenali. Sementara adikku, aku tak tahu bagaimana nasibnya saat itu. Apakah sudah meninggal, selamat atau terbakar hangus. Sampai saat ini kami tidak menemukan petunjuk apapun. Saat itulah ibu begitu trauma terhadap kehilangan.

Saat mengetahui kejadian itu, tentu saja Ayah dan Ibu begitu shock. Mereka segera pulang. Ayah dan Ibu terus menunggu perkembangan informasi tentang bagaimana nasib anaknya. Hingga saat ini, kabarnya pun masih belum jelas, sehingga disimpulkan bahwa adikku menjadi salah satu korban yang terbakar habis, walaupun kami tidak menemukan petunjuk apapun di lokasi kejadian.

Sejak kejadian itu, Ibuku begitu trauma. Hampir setiap malam ia sering dihantui mimpi buruk. Terlalu sering mimpi membuat ibu sampai diterapi oleh ahli kejiwaan. Semakin hari, kesehatan mental ibu semakin menurun. Sejak itulah Ibu memutuskan berhenti bekerja, dan menghabiskan waktu bersamaku. Sementara Ayah masih bekerja untuk menghidupi kami di rumah. 

***

Kita kembali ke cerita sudut kota. Kakek tua tadi berjalan pulang membawa obat yang telah ia beli di apotik. Obat yang ia beli adalah untuk cucunya yang saat ini mengidap penyakit asma. Nenek, dengan setia menunggu kedatangan suaminya di depan pintu reot, berharap kakek pulang membawa uang dan obat-obatan untuk sang cucu. 

Perlahan nenek sumringah melihat kakek dari kejauhan. “Alhamdulillah, pahlawanku sudah datang.” Ujarnya. Ya, Nenek memang selalu menyebut suaminya "pahlawan". Meskipun mereka hidup dalam kekurangan, nenek adalah wanita yang pandai bersyukur. Rasa syukur itulah yang ditanamkan pada cucunya: Seorang gadis mungil yang sangat menyayangi kakek dan neneknya. Seorang gadis mungil inilah yang menjadi salah satu penyemangat mereka untuk melanjutkan hidup.

Nenek bukan hanya pandai bersyukur, Ia pun juga menjelma menjadi nenek yang berbaik hati dan berbagi. Dini hari, saat orang-orang masih terbuai dengan mimpi-mimpinya, nenek sudah bangun dan menggoreng pisang untuk dijual. Saat pagi menjelang, ia mengantar cucunya ke sekolah sambil membawa barang dagangannya yang tak lain goreng pisangnya itu ke sekolah. Baginya, menjual goreng pisang cukup untuk menambah kebutuhan hidup dan menambah penghasilan keluarga mereka. Namun, jika goreng pisangnya tidak habis terjual, Ia tak segan-segan untuk membagi-bagikan barang dagangannya itu ke teman-teman cucunya di sekolah. 

***

Hari ini adalah hari minggu. Aku, ayah dan ibu membeli perlengkapan bulanan. Biasanya ibu selalu berbelanja dimini market. Katanya, selain tidak sumpek juga tidak panas aku sih ikut gaya ibu aja. Hari libur pun menjadi pilihan kata ibu, sekalian refresing. Ketika aku makan dengan lahapnya tiba – tiba dari luar kaca aku melihat “itu kakek yang biasanya tiap hari lewat sekolahku, tapi siapa wanita dan anak kecil itu. Ah mungkin istri dan anaknya”. 

Aku pun bertanya pada ibuku, bu boleh tidak kalau aku mengundang orang untuk makan bersama kita tanyaku, Ibu sambil tertawa bilang “kakak mau rayain apa? Bukankah sekarang kakak ga ulang tahun?”. Aku  masih saja dipanggil kakak walau adekku sudah lama tiada. Spontan aku langsung menjawab “bukan kakak yang ulang tahun ibu, apa Ibu lupa? ini ulang tahun adek!. Katanya lagi “ya Allah, Ibu lupa kak. Sangat boleh, kakak mau undang siapa?” Tanya ibu, “kakak mau undang mereka” aku pun menunjuk kearah 3 orang pemulung diluar sana yang lagi mengais sampah. Ibu melongo, “Kakak kenal?” Kenal bu, kakek itu pemulung yang biasa lewat sekolah kakak, boleh ga kakak undang beliau kesini? Sambil terdiam dan melongo ibu hanya mengangguk.

Aku sangat beruntung mempunyai ibu dan ayah yang baik dan suka berbagi, apalagi dengan kaum duafa. Di sisi lain ibu pelit hanya padaku saja, aku ga pernah dikasih uang jajan dengan alasan Kesehatan. Aku memaklumi itu, ibu pasti tak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya. Aku berlari keluar takut kakek menghilang dan pergi jauh “kakek! Kakek!” dia pun menoleh dan bertanya “non panggil saya?” Iya kek, kakek lupa sama aku? Tidak non, bukankah non anak sekolah yang disanakan? Iya kek “Aku yang kakek beliin es krim” kakek tersenyum kecil. Akupun mengajak kakek beserta istri dan anaknya ikut makan malam Bersama kami “kakek, nenek dan adek ikut aku kedalam ya?” Jangan non, kakek melanjutkan perkataannya yang sempat terputus “mana mungkin saya masuk kesana, nanti yang makan pada jijik lihat kami, kami bau non” kata kakek menolak halus. Tidak kek, aku sudah bertanya pada manager dan mereka memperbolehkan kalian untuk makan disana, dan kitapun makan diruangan VIP terpisah dari orang-orang.

Akhirnya mereka setuju. Mungkin inilah pertama kali kakek, nenek, serta adek manis itu masuk kesebuah rumah makan siap saji yang ekslusif. Mereka pasti tak pernah membayangkan, nampak sekali dari langkah kaku mereka. Perhatian akupun tertuju pada sikecil itu “mengapa ada perasaan seperti familiar saat aku berada dekat dengan si adik manis ini” batinku. Dengan wajah kucelnya dia mengintip malu dan selalu menghindar saat aku ingin memeluiknya “jangan kak, aku bau” ucapnya. Aku hanya senyum dan tetap berusaha merangkulnya akhirnya dia pasrah. 

***

Sampai diruang makan, ayah dan ibu begitu terpana melihat aku dan cucu kakek. Raut wajah ibu tampak shock dan tak bisa berkata apa – apa. Namun sebuah  suara keluar dari mulut  lewat ayah “kalian mirip banget” sontak kakek dan nenek menoleh kearah kami dan tersenyum “iya! Wajah kalian begitu mirip” ujap nenek. Makanan yang kami pesan pun sampai dan mereka makan dengan lahapnya. 

Usai makan aku dan adek kecil yang ternyata bernama Kurnia itu karoke, sedangkan kakek hanya melihat kita dari kejauhan, nah saat itulah ibu bertanya “Kek, bolehkan saya bertanya, mungkin hal ini termasuk privasi?” Silahkan nyonya kata sang kakek “jangan panggil saya nyonya kek, panggil saja saya Anisa! cucu kakek itu ayah ibunya dimana?” Kakek dan nenek saling pandang

Akhirnya kakek cerita, “Anisa, sebenarnya hsl ini tidak pernah saya ceritakan kepada siapapun, tapi karena saya yakin kamu orang baik maka saya akan ceritakan semuanya” ucap kakek lirih. “kita semenjak menikah tidak dikaruniai seorang anak, tetapi rasa ingin punya anak tak pernah luntur, ketika saya memcari barang bekas, saya menemukan seorang anak kecil berjalan sendirian sambil menangis, saya berusaha mencari orang tuanya, tetapi tak kunjung bertemu” kakek sempat menghentikan ceritanya. Nenek pun membelai punggung kakek dengan lembutnyan “akhirnya ia saya bawa pulang kerumah, sesampainya dirumah ternyata istri saya harus pulang karena ibunya sakit keras. 

Akhirnya kami memutuskan pulang kampung. Satu tahun saya dikampung, akhirnya mertua saya meninggal istri saya bilang kita harus kekota lagi, tugas kami kasihan Kurnia” tampak untuk kesekian kalinya kakek menghentikan ceritanya, melihat hal itu nenekpun melanjutkan cerita kakek yang sempat terputus beberapa kali “ia butuh ibunya, makanya kami selalu mencari informasi tentang ibunya walau sayang saya sangat besar terhadapnya, kalau Kurnia bertemu ibunya saya ihklas melepasnya, karena kami berdua udah semakin renta mungkin kami tak mampu untuk membesarkan dia kelak” air mata kakek keluar dan nenekpun menangis. Melihat hal itu ayah dan ibu pun tak sanggup menahan air mata yang membendung dipelupuk mata. Kami menoleh dari kejauhan masih sibuk bernyanyi tanpa tahu cerita mereka.

***

Kakek melanjutkan ceritanya. “Kami beri nama Kurnia. Kami tak tahu namanya. Waktu kami temukan, Ia selalu bilang namanya “Adek”. Dia tak tahu alamat rumahnya, tahu orang tuanya. Tapi, semoga saja kasih sayang kami berdua bisa mencukupi walaupun tidak bisa menggantikan kasih sayang dari kedua orang tuanya.” Ujar kakek. Ibu mendengarkan dengan seksama cerita itu. Tiba-tiba Ia mengingat sesuatu.  “Apa Kurnia memiliki tanda lahir di punggung memanjang seperti lintah yang sudah kenyang kek? Apakah di tengah telapak kirinya punya tahi lalat?” Tanya Ibuku. 

Seketika kakek dan nenek saling memandang. “kok kamu tahu?” Tanya kakek penuh heran. Seraya Ibu memeluk kakek dan nenek. Ayah yang mengerti, seketika menangis tak henti – hentinya.  “dia anak kami. Ia kami beri nama Alifah. Ia yang selama ini kami cari-cari. Dulu dia punya kalung bertulis huruf A”. Kemudian nenek meroggoh sudut kainnya. Di sana, ada dompet yang sangat kusam dan Ia mengeluarkan kalung kecil dari logam mulia yang bertuliskan huruf A. “ini yang kamu maksud?” Tanya sang nenek. Ibuku mengambilnya. Ia memandang kalung itu. Matanya seketika berlinang air mata. “Ya Allah ya Robb, benar nek ini kalung kecilnya, dia anak saya alifah adeknya aisyah dan sekarang adalah hari lahirnya nenek.” Ujar nenek.

Kakek pun tak luput dari rasa haru. “Ya allah, Alhamdulillah doa kami telah terkabul. Allah telah temukan Kurnia dengan ayah ibunya. Ujar Kakek. “Suatu saat kalau kami ingin bertemu kurnia, apakah kami masih dibolehkan?” Pinta kakek dengan penuh harap. Akhirnya ayah buka suara. “Saya tidak akan memisahkan kakek dan nenek dengan kurnia sebagai cucu kalian. Saya hanya akan mengambil anak saya alifah, karena sudah lima tahun kami mencarinya dan polisi sudah memvonis anak kami menjadi korban yang tidak selamat dari kebakaran saat itu.” Ujar Ayah. “Tetapi istri saya dengan imajinasi gilanya selalu bilang anaknya masih ada, sampai sampai saya membawa istri saya kedokter jiwa, ternyata perasaan seorang ibu memang benar adanya” Lanjut Ayah.

Ibu menyeka air matanya yang jatuh. Ayah tersenyum melihat kebaikan nenek dan kakek itu. “Kakek, nenek, kalian orang baik. Kalian rawat anak kami dengan penuh kasih sayang. Tak sedikit pun kakek dan nenek ingin memilikinya walau kakek dan nenek punya rasa sayang yang begitu dalam. Kami bersumpah akan mencintai kakek dan nenek seperti kakek dan nenek mencintai anak kami. Kami yakin anak kami juga tidak akan mau berpisah dari kakek dan nenek.” Ujar Ayah. 

“Kalau boleh kami meminta sekali lagi, karena kami berdua sudah tidak memiliki orang tua lagi, maukah kakek dan nenek hidup bersama kami, demi Kurnia cucu kakek sekaligus demi alifah anak kami?” Tanya Ayah. Selesai ayah bicara, tiba- tiba nenek pingsan. Melihat nenek yang tiba-tiba pingsan,kurnia seketika langsung berlari, kea rah nenek dan memeluknya sambil menangis. Ayah, Ibu dan Kakek seketika langsung membawa nenek ke rumah sakit terdekat.

***

Mereka tiba di rumah sakit. Melihat kondisinya yang cukup mengkhawatirkan, nenek dibawa ke ruang ICU. Beberapa jam nenek di rawat di ruang tersebut. Di dalam ruangan hanya ada nenek, ibu dan dokter yang sedang menangani nenek. Sementara di luar ruangan, ada kakek, kurnia, aku dan ayah. Kurnia selalu dipeluk oleh kakek. “Nenek kenapa?” Tanya Kurnia dengan wajah polos. “Nenek tidak kenapa-kenapa. Mungkin tadi nenek kekenyangan karena makan terlalu banyak” jawab kakek. 

Aku melihat interaksi Kurnia dan Kakek dari jarak yang cukup dekat. Kami sama-sama menunggu kondisi nenek membaik. “Ayah, nenek kenapa? kok tiba-tiba tadi pingsan? Nenek baik-baik aja kan?”. Ayah menatapku dalam-dalam. Seketika Ayah menarikku menjauh dari mereka.  Ayah membisikkan sesuatu padaku. Aku yang mendengar bisikkan itu, seraya benar-benar tak menyangka. Ayah langsung memelukku erat. Ibu yang masih tak percaya kenyataan ini masih saja menangis. Ibu menggenggam erat tangan nenek dan berharap semuanya baik-baik saja. 

Melihat ibu yang senantiasa berharap nenek baik-baik saja dan melihat kakek yang sedang memeluk Kurnia, seketika air mataku jatuh. Bagaimana tidak? Seorang kakek tua yang sudah ku kenal cukup lama, ternyata adalah orang yang menemukan adikku yang selama ini kami cari. Mereka memberikan cinta dan merawatnya dengan tulus pada adikku. “Seandainya kakek tinggal dengan kita, kakak keberatan?” Tanya ayah. Aku menggelengkan kepala, sambal tersenyum dan memeluk ayah.  Aku merasa inilah waktunya kami bisa membalas budi baik kakek dan nenek.

Setelah beberapa jam dirawat, nenek mulai sadar. Ayahku mengurus ke ruang administrasi untuk menebus obat dan membayar biaya perawatan. Usai menyelesaikan administrasi, Ayah mendatangi kami. “kakek dan nenek kita kerumah kami ya?” ujar Ayah. Kurnia bersorak kegirangan. “Memang boleh ya om?” Tanyanya lugu. “Kurnia sayang, jangan panggil om dan tante ya? Tapi panggil ibu dan ayah sama seperti panggilan kak aisyah? Kurnia mau?” ujar Ibu. 

“Oh ya, boleh ya kek kurnia panggil om dan tante, ayah dan ibu?” Tanya Kurnis dengan wajah polos. “Boleh cucuku.” kata kakek. Ayah dan Ibu memang belum menceritakan semuanya pada Kurnia. Waktu yang tepat: Begitu kira-kira alasan yang logis saat ini untuk menceritakan semuanya nanti. Namun yang jelas, Kurnia merasa begitu bahagia. Ingin rasanya hati kecilku berteriak “adikku”. Aku peluk erat-erat tubuh mungilnya. Aku seraya berdoa dalam hati agar kami tak terpisahkan lagi.

Nenek menggenggam tangan ibuku. “terimakasih sudah memberiku cucu yang baik hati. Walau aku tak pernah merasakan indahnya menjadi seorang ibu, namun aku merasakan indahnya jadi nenek” ucapnya. Ibuku tersenyum. “Anggap saja aku anakmu, Bu. aku akan mencintai Ibu dan Ayah seperti kurnia mencintai kalian”. Suasana menjadi lebih hangat saat itu. Kami segera memasuki mobil. Perlahan, mobil kami berjalan menuju rumah: Rumah kami.

Posting Komentar

0 Komentar